Postingan

Angin Dingin Sebelum Lelap

Dalam kabut bagai selimut Sekelumit hidup mulai meredup Dalam kelam yang dalam Sekuntum takut pun tak terpaut Sepi menjalar dari ujung nalar Terus naik hingga lelap terpantik Hingga bising memudar Hingga bunga tidur berpendar Kidung terlantun indah menuntun Gundah luluh terangkat peluh Hilang - hilanglah gulma fikir melilit Hilang - hilanglah duka hati yang sakit Dalam pendaran jiwa berjalan Sekelumit memori pulang bersama mentari Dalam cahaya putih terniscaya Sekuntum kasih pun terasih

Dari Sepasang Roda Besi

Angin berhembus Bersama kenangan yang tulus Muncul sejak tapak masih halus Hingga raga mulai terseret arus Ditemani deraman lokomotif Yang beradu dengan sepasang rel Mata ini tak lelah tak pernah pasif Menatap alam bagai dunia afabel Tapak pertama Terhembus hawa baru yang dingin Tak berlangsung lama Tapak kedua mengayun walau ragu apakah ingin Di dunia dingin yang asing Langkah kaki meragu Didorong kehidupan yang mulai bising Ditemani gawai berlagu Terhanyut dalam fikir Menerka kejadian dari awal hingga akhir Segala yang akan terukir Dalam diri segersang padang pasir

Hati dan Aksara

0120300718-N-poet Badai berkecamuk Dalam fikir yang mengamuk Dinaungi hati yang memeluk Melindungi dari realita yang menusuk Tak pernah terdengar lagi Tangis yang menenangkan hati Membawa gundah gulana pergi Setidaknya sampai datangnya pagi Tak pernah terlantun lagi Melodi yang dulu berelegi Merangkul murka amarah ini Setidaknya hingga sang fikir kembali Tinggal pelukan hati rapuh Yang kawannya telah runtuh Kedalam kebinasaan yang jauh Entah kapan akhirnya ia tersimpuh Sisa setitik usaha hati berharap Tak kepada lisan meratap Tak kepada pandangan gelap Hanya kepada aksara yang belum terlahap Entah kapan harapan itu meredup Hingga mata hati tertutup Atau kawan lama yang kembali hidup Dan kebinasaan tertiup

Sebuah Mata Rantai

0217130718-N-poet Di kala sepi melanda Kesunyian tercipta dalam dada Mengulas perangai diri  Menenun cerita hingga dini hari Bait bait dalam fikir Terkikis pena yang selalu kikir Walau kertas tak berakhir Hingga hanya kata yang terukir Cerita ini bagai lingkaran Selalu terulang walau sudah jadi lembaran Diawali pagi melelahkan Diakhiri senja membingungkan Padahal dunia baru dipandangan Semakin dekat tak terelakkan Jiwa ini masih meringkuk dalam angan Memeluk kedamaian fana yang melegakan Saat nyaman dan cinta terikat Tercipta rantai yang melekat Agar hati selalu merasakan yang sama Walau menjadi sebab pupusnya angan lama Bagai pedang bermata dua Rantai menjadi tumpuan mendaki langit Atau menjadi jangkar pembunuh asa Entah mana yang ku rakit

Kekacauan Yang Harmonis

0150180418-N-poet Malam sunyi yang hangat Ditemani teh dalam cangkir bulat Ditemani kidung alam di balik semak tak terlihat Dan berkas cahaya yang menembus dedaunan rapat Terhanyut dalam fikir yang bersenandung Bersama semesta yang berkidung Walau langit sedang mendung dan Gundah hati tak terbendung Malam itu ribut namun sunyi Kekacauan yang diresapi menjadi harmoni Yang tak pernah terpikir dalam diri Namun selalu terasa dalam hati Terkadang insan terlalu percaya indra Padahal ada nurani dari Sang Kuasa Hanya memetik simpul demi ketenangan diri Hingga lupa hati yang diingkari Matanya tak kotor, tak rusak Hanya butuh meminjam mata lain sejenak Hanya untuk menyadari Bahwa insan tak pernah hidup sendiri

Elegi

Elegi Mentari jatuh seperti biasa Menyisakan jejak jingga ranum Seakan menarik biru langit menjadi kelam berkelip Dan menarik saudaranya agar menggantikanya Angin jalan berhembus diantara rambut Mungkin terus kedalam jiwa Menuggu diri terbawa ke peraduan Dan menyamankan diri dalam ketenagan yang berisik itu Raga lelah berargumen dengan jiwa yang masih bangun Namun pikir muncul menengahi Setelah hari sia sia ini mengapa raga lelah? Dan setelah hari yang penuh ini Mengapa jiwa masih berapi? Waktu membawanya merebah bingung Karena minornya esensi hari Yang harusnya menjadi pembuktian Kerja keras kemarin hari Malah menjadi entah cambuk entah pedang yang menyayat Dan kepercayaan yang hancur Dibalik itu, mungkin Tuhan menyodorkan Kenyataan yang sebenar benarnya Tanpa alasan yang dimengerti Hingga sedikit menyejukkan hati Yang merasa rusak dan lemah Yang dinaungi pikir yang goyah Hingga horizon memakan sang surya Akhirnya raga ...

Jatuh

Jatuh Berjalan terlindung gelap malam Terlihat corak keunguan dilangit kelam Bagai mawar dalam semaknya Dan kupu putih jadi bintangnya Walau kelam, langit ‘kan tersingkap Berubah, berbalik, mengangkat tabirnya Hingga terang mengisi kehidupan dihadapannya Satu satunya yang tak mungkin ku lakukan Hanya tertutup debu bukan tabir Tidak terang tidak gelap Kelabu, layaknya  kepompong tak berisi Namun berharap menjadi kupu yang indah Cuma kekosongan di dalamnya Memori lenyap bagai air mengalir Cahaya redupnya pun ikut terhanyut Dalam palung ketidakpedulian Yang lain terbang menggapai angannya Ku hanya terdiam dalam kekecewaan Terombang ambing dalam takut Akan khianatnya angan itu.